Friday, March 30, 2007

DUA IMAN

DUA IMAN

IMANANI atau dua iman, judul itu ditulis oleh imam Syahid Hasan Albanna didalam Kumpulan Risalah beliau dalam menjelaskan gerakan dakwah yang beliau letakkan. Dengan judul itu cukup mengetuk kita para kader dakwah untuk merenungi lebih dalam lagi tujuan risalah beliau tersebut. Kita berbeda dengan mereka yang berada diluar kita dan seharusnya memang berbeda. Kita harus bangga tanpa harus menyombongkan diri dengan kebesaran dakwah yang sekarang kita berada dalam barisannya. Perbedaan dakwah kita dengan orang yang berada diluar kita terletak pada iman yang berada didalam dada para kadernya.

Dalam sebuah ceramah agama, atau sebuah khotbah di masjid-masjid, atau dalam kajian-kajian dan seminar-seminar, orang-orang yang hadir mendengarkan isi ceramah tersebut boleh jadi akan tergugah, timbul semangat untuk memperbaiki diri dan masyarakat, akan sadar dan berkeinginan kuat untuk melakukan dakwah bahkan ada keinginan untuk merubah tatanan kehidupan ke arah yang lebih islami, namun ketika mereka keluar meninggalkan majlis tersebut dan kembali dengan kesibukan aktivitas masing-masing, bertemu dengan lingkungan mereka, mereka seakan sudah lupa dengan apa yang barusan didengarnya dalam beberapa menit yang lalu, bahkan kembali menjalani kebiasaan-kebiasaan yang jauh dari nilai islami yang pada beberapa menit yang lalu ingin ia rubah, bahkan ia kembali lalai. Itu.., karena iman yang mereka miliki lemah, redup dan tidur.

Namun berbeda dengan iman yang dimiliki oleh para kader dakwah, mereka memiliki iman yang menyala, seperti api yang berkobar, iman yang hidup dan begitu kuat sehingga mampu mendorongnya untuk bergerak, menyebarkan nilai-nilai iman yang ia miliki kepada lingkungan dan masyarakatnya. Ia tidak gamang, apa lagi tidak peduli dengan permasalahan yang terjadi didepan matanya, keinginan kuat yang didasari iman yang benar inilah yang mendorongnya untuk terus beramal. Imannya memancar, sehingga badannya tidak tahan untuk beristirahat, tangannya tidak bisa untuk bertopang, lisannya tidak bisa diam, dan jiwanya berontak dengan kemungkaran yang ada di depan matanya.

Imam Syahid mengatakan : "Yang membedakan kami dan umat kami setelah sama-sama beriman dan menyakini kebenaran ideologi itu adalah bahwa iman pada diri mereka tertidur lelap, karenanya tidak mempunyai daya dorong untuk melakukan konsekwensi dari keimanan itu. Namun sebaliknya iman itu menyala, menggelora dan begitu kuat dan bangkit didalam jiwa ikhwanul muslimin." (Majmu'atur Rosail hal: 16)

Atau mungkin kita pernah menyaksikan seorang yang kelihatannya begitu khusyuk melakukan sholat berjamaah dimasjid, setelah itu ia berzikir dan berdoa dengan khusyuk pula, setelah menyelesaikan sholat ia pulang menuju rumahnya, ketika didalam perjalanan ia bertemu dengan orang-orang yang asyik menikmati kebebasan melakukan kemaksiatan, ia berbaur bersama mereka, pembicaraannya tidak ada bedanya dengan apa yang mereka obrolkan bahkan sambil tertawa-tawa bersuka ria, kelakuannya tak bisa dibedakan dengan perangai mereka, bahkan ia tidak sadar dalam beberapa menit yang lalu ia begitu khusyuknya membaca Al-Quran, ia baru selesai melaksanakan sholat dan bermunajat kepada Rabbnya.

Imam Al-Banna menggambarkan : "Engkau akan dibuat tertawa bingung dengan kondisi ketika melihat seorang pemikir atau seorang budayawan yang berwawasan, dalam dua jam yang bersamaan disuatu siang dia bersikap sebagai seorang atheis yang tidak mengenal tuhan dan tiba-tiba saja menjadi seorang yang sangat agamis dan ahli ibadah. Inilah kelengahan, kealpaan, ketidaksadaran, kerapuan bahkan keterlelapan panjang –atau apa saja sebutan yang tepat- yang mendorong kami menghidupkan kembali 'Mabda kami' (ideologi) dan itu adalah ideolagi yang telah lama dipercayai dan diterima oleh umat kami yang kami cintai."