Sunday, February 04, 2007

Di Balik Poligami Rosulullah SAW

Rosulullah merupakan suritauladan bagi umatnya, begitu juga dalam hal menikah. Rosulullah banyak menikahi istri-istrinya pada masa periode dakwah di Madinah. Ia hanya menikahi Khodijah ketika pada masa periode dakwah di Mekah sampai Khodijah meningal dunia, setelah wafatnya Khodijah, Rosulullah menikahi Saudah binti Zum’ah rodhiyallahu anha.
Adapun Aisyah adalah wanita pertama yang dinikahi Rosulullah pada masa dakwah Rosulullah di Madinah. Kemudian Rosulullah menikahi Hafshoh, lalu Zainab binti Khuzaimah, lalu Ummu Salamah Hindun binti Abi Umayyah, lalu Zainab binti Jahsyi, kemudian Juwairiyah binti Al-Harist, kemudian Ummu Habibah Romlah binti Abu Sufyan, kemudian Sofiyah binti Huyyi bin Akhtob, kemudian Maimunah binti Al-Harist Al-Hilaliyah.
Setiap istri-istri Rosululah tersebut mempunyai kamar-kamar kecil disekitar masjid nabawi. Namun semua istri-istrinya hidup rukun, damai serta bahagia bersama Nabi Saw. Adapun diantara istri-istri Rosulullah tersebut Khodijah dan Zainab binti Khuzaimah meninggal dunia tatkala Rosulullah masih hidup.

Poligami saat ini sedang ngetrend di tanah air. Namun marilah kita melihat jauh kebelakang, kembali mengenang alur sejarah tentang pernikahan baginda Rosululah Saw. Pernikahan Rosulullah Saw mempunyai tujuan-tujuan yang sangat tinggi lagi mulia. Tidak bisa hanya dilihat dari satu sisi, bahwa Rosululah berpoligami, lalu ketika ada umatnya yang ingin mengikuti poligami Rosullulah tersebut terjadi pro dan kontra terhadap sikap sang ustadz. Setelah kita memperhatikan beberapa tujuan dari poligami Rosulullah dibawah ini mungkin kita bisa lebih jernih dalam memandang saudara kita yang mengikuti qudwah Rosulullah ini. Diantara tujuan pernikahan beliau yang dapat ambil dari buku-buku sirah antara lain:

Tujuan Pengajaran

Dengan pernikahan itu, umahatul mukminin adalah sebagai perantara dalam mengajarkan dan menyebar luaskan ajaran islam, apalagi berbagai hukum yang bersangkutan dengan wanita, yang kadang kalah tidak dapat dilakukan oleh para sahabat untuk menyampaikannya kepada para wanita. Maka dengan adanya istri-istri rosulullah sangat memudahkan untuk berhubungan dengan wanita-wanita lain yang lebih luas, sehingga ajaran yang disampaikan nabi dapat ditransper dengan cepat kepada kamu wanita di madinah ketika itu. Walaupun dengan istri satupun telah mampu untuk menguasai berbagai ilmu, hukum-hukum dan urusan yang berkaitan dengan kaum wanita. Seperti halnya Aisyah ra yang sangat terkenal dengan kecerdasannya yang menghapal hadist dari Rosulullah Saw sebanyak 2210 hadist, dari jumlah hadist-hadist yang dihapal oleh umahat mukminin yang lainnya sebanyak 608 hadist saja. Tidaklah ketika para sahabat mengalami kesulitan dalam beberapa masalah agama lalu mereka menanyakan pada Aisyah kecuali mereka mendapatkan jawaban yang belum mereka ketahui, sebagaimana dalam riwayat Imam Tirmizi mengatakan : “Aisyah adalah wanita yang paling cerdas dan faqih didunia ini”.

Tujuan Syariat

Dalam pernikahan Rosulullah dengan Zainab binti Jahsyi istri dari anak angkatnya Zaid bin Haritsa. Pernikahan tersebut adalah karena wahyu Ilahi yang bermaksud untuk mementahkan kebiasaan mengangkat anak pada masa jahiliyah, dan menghilangkan keengganan bagi kamu muslimin untuk menikahi wanita-wanita yang dicerai oleh anak angkat mereka. Allah Swt berfirman dalam surat Al-Ahzab ayat 37, yang artinya : “… Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluannya terhadap istrinya (menceraikannya), Kami kawinkan kamu dengan dia supaya tidak ada keberatan bagi kaum mukmin untuk mengawini istri-istri anak angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu telah menyelesaikan keperluannya daripada istrinya. Dan ketetapan Allah itu pasti terjadi”.
Tujuan ini memiliki dampak yang sangat besar dalam kehidupan bermasyarakat pada masa menetapkan beberapa hukum islam dan mewarnai kehidupan bermasyarakat dengan ajaran islam.

Tujuan Manusiwi

Pernikahan Rosulullah pun dalam rangka memberikan naungan dan pemeliharaan terhadap janda-janda yang ditinggal syahid oleh suaminya, memberikan pendidikan terhadap anak–anak yatim dan menghibur kesedihan keluarga sahabat yang syahid yang dinikahinya.

Pernikahan Rosulullah dengan Ummu Salamah Hindun binti Abi Umayyah, setelah suaminya meninggal dunia di Madinah, ia meninggalkan dua orang anak laki-laki dan dua orang anak perempuan. Pernikahan Rosulullah tersebut merupakan pemuliaan Rosullulah pada Ummu Salamah dan merupakan pengayoman terhadapat anak-anaknya.

Pernikahan Rosulullah dengan Zainab binti Khuzaimah, istri dari Ubaidah bin Al-Harist yang syahid setelah perang badar. Pernikahan Rosulullah ini dalam rangka menghibur kesedihan Zainab dengan syahid suaminya tersebut.

Tujuan Dakwah

Penikahan Rosulullah dengan Shofiyah putri dari Huyyi bin Akhtob musuh islam terbesar yang terbunuh dari bani Qoroizhoh. Adapun Shofiyah ketika itu merupakan tawanan dalam perang khaibar, lalu Rosulullah membebaskannya kemudian menikahinya. Pernikahan ini memberikan pengaruh yang besar dalam dakwah Rosulullah untuk mengikat orang–orang ahlul kitab dari Bani Qoroizhoh dengan ikatan kerabat dan kekeluargaan. Daerah tersebut merupakan wilayah perdalaman yang jauh.

Pernikahan Rosulullah dengan Maria Al-qibtiyah dari Sirari. Dengan pernikahan tersebut Rosulullah mengikat umat yang lebih luas lagi, sehingga dakwah islam bisa lebih luas diterima oleh masyarakat yang dari sana ada salah seorang istri Rosulullah, sebagai mana sabdanya: “Kalian akan membuka negeri mesir maka berwasiatlah yang baik terhadap penduduknya, karena sesungguhnya di sana ada orang-orang yang dibawah perlindungan islam dan ada sanak kerabat”. Pernikahan tersebut memberi dampak yg jauh kedepan terhadap perluasan dakwah terhadap penduduk mesir.

Pernikahan dengan Juwairiyah anak dari Al-Harist seorang pemimpin Bani Al-Mustholiq. Ia menjadi tawanan kaum muslimin, lalu ia dibebaskan oleh Rosulullah kemudian ia dinikahi. Pernikahan ini juga memiliki pengaruh yang dahsyat dalam membebaskan tawanan dari keluarga dan qabilahnya. Ketika para sahabat mendengar pernikahan Rosululah dengan Juwairiyah mereka berkata: “Bebaskanlah tawanan kalian dari kaumnya, mereka adalah kerabat Rosulullah”. Ini menyebabkan semua kaum dari Bani Mustholiq masuk islam. Ini juga memberikan hasil yang cepat terhadap dakwah islam.

Pernikahan Rosulullah dengan Ummu Habibah Romlah binti Abi Sufyan, seorang pemimpin musyrikin mekkah pada waktu itu. Rosulullah menikahinya ketika Romlah berada di negeri Habasyah setelah suaminya Ubaidillah bin Jahsyi menjadi nasrani, sebagai penghomatan Rosulullah karena Romlah menjadi asing dan menyendiri di negeri yang jauh, karena keislamannya ia rela meninggalkan kerabatnya. Juga merupakan sebagai pendekatan untuk mengikat hati bapaknya, untuk melihat ulang bagaimana pandangan Abu Sufyan dan permusuhannya terhadap dakwah islam.
Kalau diperhatikan maksud dari pernikahan ini adalah untuk mendapatkan dukungan dari luar terhadap dakwah islam dan menyebarkannya di negeri arab.

Adapun pernikahan Rosulullah dengan Aisyah dan Hafshoh selain sebagai sarana untuk mempermudah dalam mengajarkan islam kepada kaum muslimat juga merupakan sebagai penguat dalam barisan dakwah, hubungan Rosulullah dengan dua orang sahabat pendukung dakwahnya, yaitu Abu Bakar dan Umar bin khattab radhiyallahu anhuma.

Seperti halnya juga Rosulullah menikahkan Ruqoyah, kemudian Ummu Kulstum dengan Ustman bin Affan, dan menikahkan Fathimah dengan Ali bin Abi Tholib, bertujuan untuk memperkuat barisan dari dalam terhadap dakwah islam.

Mudah-mudahan yang berpoligami juga mempunyai tujuan yang sama dengan apa yang telah Rosulullah contohkan.

Thursday, February 01, 2007

Antara amal dan hasil

Episode kemenangan:


Terkadang sebagian orang berputus asa ketika tidak menyaksikan hasil yang cepat atas apa yang dilakukan oleh mereka–mereka yang berijtihad dalam dakwah yang berkah ini. Mereka melihat masyarakat yang melakukan amal didalamnya melepaskan rasa malu hari demi hari, dengan melalui jalan yang cepat dan berbahaya, yang menjadikan sebagian kelompok ini berputus asa dari gunanya beramal bersama meraka. Sesungguhnya kelompok ini, ketika mereka melakukan amaliyah dakwah itu mereka melupakan hakekat yang penting, yaitu sesungguhnya ia adalah hamba Allah yang tidak dituntut darinya lebih banyak dari sekedar amal, yang dituntut hanyalah untuk menyampaikan, akan tetapi sesungguhnya hidayah bukanlah yang dituntut darinya, apalagi memang sesungguhnya ia tidak memiliki hidayah itu.

Ini bukan berarti tidak memperhatikan hasil dan tujuan amal, atau juga bukan berarti tidak yakin dengan kemenangan. Karena sesungguhnya tsiqoh dengan kemenangan adalah pendorong amal. Akan tetapi yang dimaksud dengan hasil adalah hidayah bagi manusia, yang dampaknya adalah merubah tatanan masyarakat, dari masyarakat jahiliah kepada masyarakat islami. Dan itu tidak dituntut dari individu, akan tetapi yang diharapkan adalah amal yang terus menerus untuk sebuah kemenangan, yang kadang kalah tidak tercapai dengan tangan kita. Ini bukanlah yang menjadikan berhentinya untuk terus beramal.

Al-Banna mengingatkan pengikutnya

Beginilah Imam Syahid Hasan Al-banna mengingatkan dari sakit semacam ini yang kadang merasuki jiwa sebagian orang, ia berkata: “Wahai ikhwanul muslimin, sesungguhnya kalian mengharapkan keridhoaan Allah, dan mengharapkan pahala dan keampunan-Nya, dan itu akan dijamin buat kalian selagi kalian ikhlas. Allah tidak membebabkan kalian hasil dari amal kalian, akan tetapi yang dibebankan pada kalian adalah tujuan yang benar, dan persiapan yang sebaik mungkin. Dan kita setelah itu bisa saja salah, maka kita akan mendapatkan ganjaran orang yang berijtihad. Dan boleh jadi kita benar, maka kita akan mendapatkan ganjaran pemenang.”

Sayyid Qutub dan Ashabul Ukhdud.

Sesungguhnya hasil yang terlambat, dan ujian yang terus menerus seharusnya tidaklah menjadikan sebab berhentinya dari beramal. Kita tidak memiliki batasan hasil–hasil kecil, tidak juga hasil yang besar, akan tetapi yang perintahkan bagi pelaku dakwah yang dijanjikan akan kemenangan agama ini dari agama lainnnya adalah terus melakukan amaliyah dakwah.
Sayyid Qutub mengomentari kisah ashabul ukhdud sebagai mana perkataanya: “Disana ada contoh yang menggambarkan tidak ada orang mukmin yang selamat, dan kegembiraan orang-orang kafir yang dibiarkan hidup tanpa disiksa. Itu semua, mau tidak mau, adalah demi memantapkan orang-orang mukmin -pembawa dakwah- bahwa kadang-kadang mereka dalam perjalanan dakwahnya akan mengalami akhir dakwahnya yang seperti itu. Dalam hal ini mereka tidak dimintai pertanggungan jawab apapun. Yang dipertanyakan dari mereka hanyalah permasalahan aqidah dihadapan Allah. Apa yang perlu mereka lakukan hanyalah menunaikan kewajiban. Kewajiban menjadikan Allah sebagai satu-satunya tuhan, mengutamakan aqidah dari kehidupan duniawi, penuh percaya diri dengan iman yang dimilikinya untuk melawan coban, menyandarkan diri hanya kepada Allah atas seluluruh amal dan niatnya. Jika kewajiban iu telah ditunaikan, Allah akan berbuat bagi mereka dan musuh-musuh mereka, bagi dakwah dan agama-Nya, sesuatu yang Ia kehendaki, disinilah perjalanan sejarah iman berakhir. Mereka adalah pekerja Allah. Dimana, kapan dan bagaimanapun mereka bekerja, mereka pasti akan mendapatkan upah dari Allah. Mereka tidak perlu menggapai satu target apapun dari dakwah yang mereka lakukan itu. Perjalanan akhir dakwah adalah urusan Allah, bukan urusan mereka. Mereka hanyalah para juruh dakwah suruhan Allah.

Barang siapa yg di tangannya ada bibit kurma.

Rosulullah bersabda: “Jika hari kiamat tiba sedangkan ditangan kalian ada bibit kurma yang akan ditanam, maka hendaklah ia menanamnya. (HR. Ahmad 3/191, dishohihkan Al-bani)

Dalam hadist ini Rosulullah menyeruh kepada siapa yang ditangannya ada bibit kurma sedangkan ia mengetahui bahwa kiamat telah tiba dengan tanda-tandanya, dengan bergoncangnya bumi, terbelahnya langit, bertabrakannnya bintang dan planet satu sama lain, banjirnya air laut kedaratan, api-api menyala. Dengan kondisi yang ia sadari seperti itu, ia disuruh untuk menanamkan bibit kurma. Bukankah ini sebuah urusan yang aneh? Ini menunjukan bahwa yang dituntut dari seorang hamba bukanlah menunggu hasil sesuai dengan apa yang telah dilakukan seorang hamba atas perintah tuannya.
Ustadz Muhammad Qutub mengatakan : “Sesungguhnya ia mengatakan pada kalian: Bukanlah bagi kalian buah dari kesungguhan kalian, akan tetapi bagi kalian adalah kesungguhan itu saja, lakukanlah dengan sungguh dan janganlah menanti-nanti hasilnya. Tunaikanlah dengan iman yg sempurna, ini adalah kewajiban kalian, ini adalah urusan penting kalian. Sesungguhnya kewajiban kalian dan kepentingan kalian berakhir bersama kalian disitu, yaitu ketika kalian menanam bibitnya ditanah, bukan memetik buahnya. Dan dia berkata kepada mereka, bukan mengejek ataupun menertawakan mereka. Tetapi sesungguhnya mengatakan pada mereka sesuatu yg benar adanya."

Ketika anda bertanya pada diri anda sendiri kapan bibit ini akan berbuah? Bagaimana ia akan berbuah sedangkan di kiri kanannya ada angin dan hama dari segala arah? Ketika anda bepikir bagaimana ia akan hidup? Bukankan anda sendiri yang memotongnya ketika anda mengambil bibitnya? Akan tetapi ketika anda menanamnya ditanah dan menengadahkan kedua tangan anda memohon pada Allah, pada saat itulah anda titipkan pada tempatnya yang benar, yang memelihara tanaman itu dan memelihara anda.
Maka selagi seorang dai yakin dengan kemenangan, bukan tidak mustahil ia akan melihat kemenangan selagi ia yakin dengannya. Ia harus melakukan dengan tugasnya yang telah Allah tentukan, yaitu berdakwah pada jalan-Nya. Mengoftimalkan segala sebab yang akan mewujudkan pada kemenangan, dan setelah itu bukanlah hal yangg penting terealisasinya kemenangan itu dengan tangannya atau tangan orang lain.

Qiyadah hanya layak buat mereka yg berqudwah


Banyak, itulah gambaran mereka, para sahabat nabi Radhiyallahu ‘anhum, yang mana pada tahun pembebasan kota makkah jumlah meraka mencapai 10.000 orang sahabat. Akan tetapi kenapa dari jumlah yang besar itu tidak semuanya muncul dan terdengar kisah mereka? Bahkan hanya kurang dari 1000 orang saja yang tercatat dalam sejarah ketika Rosulullah Saw wafat.

Itulah sunnatullah yang menjadikan manusia berbeda dalam kecemasan dan semangat mereka yang menggelora, dalam kesakitan dan cita-cita mereka. Begitulah juga hikmah Allah yang agung, yang menjadikan surga bertingkat-tingkat, bukan dalam satu derajat saja, itu adalah karena perbedaan kesungguhan.

Diantara para sahabat rosulullah, ada dari mereka yang tidak pernah meninggalkan nabi sekalipun kecuali sampai nabi masuk kedalam rumahnya.
Diantara mereka ada yg menemani nabi hingga dalam kholwat dan penyendiriannya, membawakan air ketika nabi menunaikan hajatnya, dan menyediakan air untuk berwudhunya. Begitu juga, diantara mereka ada yang seumur hidupnya hanya sekali atau dua kali saja yang melihat Rosulullah, atau hanya meriwayatkan 1 atau 2 hadist saja.

Maka diantara para sahabat yang paling dekat dengan nabi dan yang paling banyak bersentuhan dengannya adalah para Khulafa al-rosyidin, oleh karena itu, merekalah orang–orang yang paling nampak dan tampil dipermukaan sejarah, dan mereka adalah para pemimpin setelah nabi, karena mereka adalah orang yang paling banyak mengambil ilmu dan akhlak dari nabi Saw, dan mereka pulalah yang paling memahami agama ini.

Begitu juga halnya dengan para tabiin dan tabi’-tabi’in, dengan jumlah mereka yang justru melebihi jumlah para sahabat, merekapun muncul dan memimpin, dan orang-orang menjadikan mereka panutan dikarenakan mereka pulalah yang banyak bersentuhan dengan para ulama dari kalangan sahabat dan yang mengikutinya.

Maka dengan ukuran itu, sebesar apa persentuhan dan mengikuti keteladanan para murobbi dan ulama, sebesar itu pulalah apa yang didapatkan bagi yang mengikutinya, sebuah hak yang layak untuk memimpin diantara para dai, ia akan muncul dan nampak dengan jelas diantara manusia tanpa harus meminta hak kepemimpinan itu, atau tanpa harus menonjolkan diri, karena ia akan muncul dengan sendirinya. Inilah hasil dari sebuah keterkaitan dan Ittiba’.

Oleh karena itu pula Imam Al-Jailani mengatakan pada salah seorang dai dari pengikutnya : “Bergantunglah padaku sehingga engkau menyebrang” seakan ia mengatakan kepada pengikutnya itu, yang ditarbiyah langsung oleh tangannya, bahwa ia tidak memiliki kemampuan berenang dan tidak bisa bergantung pada dirinya sendiri untuk menyeberangi sungai. Seakan pula murobi ini menundukkan dirinya dengan berkata: “Bergantunglah padaku sehingga engkau menyebrang”. Maka apabila pengikutnya ini menganggap dirinya kuasa dan sombong serta menganggap dirinya telah menjadi alim sebelum waktunya dan menganggap tidak lagi memerlukan ilmu dari pendidiknya, lalu ia lepaskan karena menganggap ia mampu menyeberangi sungai itu sebelum ia mempelajari seni menyeberangi sungai, maka ia pasti akan tenggelam. Ini adalah pelajaran pertama yg diajarkan Syeikh Al-Jailani kepada para muridnya.

Tidak ada kepemimpinan kecuali dengan berqudwah. Berlaku baik kepada para pendidik dan murobbi adalah dengan cara menteladaninya, serta mengikuti yang benar dan sesuai dengan keteladanan Rosulullah Muhammad Saw.